Minggu, 06 Maret 2016

Serangga Predator Aphis Gossypii di Ekosistem tanaman sayuran



LAPORAN TETAP PRAKTIKUM
PENGENDALIAN HAYATI DAN PENGELOLAAN HABITAT

Nama  : Melita Anggraini                              Tanggal        : 04 februari 2016
NIM    :  05071181320076                               Asisten          : 1. Suci Yolanda
Kelas   : A                                                                                 2. Renitha tustiana
Judul  : Serangga Predator Aphis Gossypii di Ekosistem   3. Ichsan agung
               Tanaman Sayuran                                                   4. Mega alvianto
                                                                                                  5. Debora manalu
                                                                                                  6. Hanindya
                                                                                                  7. Febry
                                                                                                  8. Didi permadi
 


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Ekosistem alami dan ekosistem pertanian merupakan tempat hidup komunitas serangga yang terdiri dari banyak jenis serangga dan masing-masing jenis memperlihatkan sifat populasinya sendiri tidak semua jenis serangga dalam agro ekosistem merupakan serangga yang berbahaya atau merupakan hama malahan sebagian besar jenis serangga yang bukan hama dapat berupa musuh alami hama.
Keberadaan  serangga predator pemangsa kutu daun Aphis gossypii diseuatu agrosistem pertanian layak diperhatikan, karena predator merupakan agens pengendali hayati yang keberadaanya dapat menekan populasi Aphis gossypii. untuk mempertahankan keberadaan predator tersebut diperlukan informasi mengenai spesies-spesies serangga predator yang memangsa Aphis gossypii. informasi predator atau musuh alami tersebut hendaknya dapat diterima oleh petani, sehingga petani akan mengetahuinya dan dapat mengupayakan agar keberadaanya tetap terjaga di agroekosistem pertanaman sayuran mereka.
Salah satu hama yang menyerang tanaman sayuran adalah kutu daun Aphis gossypii. Adanya serangga predator dalam memangsa hama kutu daun Aphis gossypii di suatu agroekosistem sebaiknya harus di pertahankan karena serangga predator merupakan salah satu agens pengendali hayati yang hadirnya dapat menekan populasi Aphis gossypii. Dalam mempertahankan kehadiran serangga predator di suatu ekosistem dibutuhkan informasi mengenai spesies serangga predator yang memangsa Aphis gossypii. Informasi ini diharapkan dapat berguna untuk mengenal dan mempelajari karakteristik dan ciri-ciri seragga tersebut sehingga setalah mengetahui informasi tersebut, maka akan memudahkan dalam mengupayakan agar keberadaan serangga predator ini tetap terjaga di agroekosistem pertanaman hortikultura dan tanaman pangan.
Salah satu serangga predator Aphis gossypii adalah Kumbang koksi. Kumbang koksi adalah salah satu hewan kecil anggota ordo Coleoptera. Pada umumnya kumbang koksi mudah dikenali karena penampilannya yang bundar kecil dan punggungnya yang berwarna-warni serta pada beberapa jenis berbintik-bintik. Seekor koksi diketahui bisa menghabiskan 1.000 ekor kutu daun sepanjang hidupnya. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kemampuan koksi dalam memangsa kutu daun maka perlu dilakukan pengujian dan pengamatan tertentu.


1.2  Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui serangga predator Aphis gossypii di ekosistem tanaman sayuran









BAB 11
PELAKSANAAN PRAKTIKUM

2.1 WaktudanTempat

Praktikum Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat dilaksanakan pada hari kamis. Tanggal 04 februari 2016, pukul 14.30 sampai selesai.
            Tempat pelaksanaan praktikum dilakukan di Laboratorium Insecta Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

2.2AlatdanBahan

Alat yang digunakan pada pelaksanaan praktikum ini adalah ATK, buku/ pustaka identifikasi, dan kamera.
            Bahan yang digunakan serangga predator Aphis gossypii

2.3 Cara Kerja

1.      Siapkan bahan
2.      Siapkan alat,missal microskop,kamera
3.      Lalu amati serangga dibawah mikroskop
4.      Lihat cirri cirri dari serangga tersebut
5.      Lalu difoto
6.       Buat laporan








BAB 111
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Hasil
            Adapun hasil yang didapatkan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:


No
Nama Spesies,
Family,
Ordo
Gambar Foto
Keterangan
1
Predator
Ordo    : Coleoptera
Famili  : Coccinellidae
Spesies :
Coccinella novemnotata






Memiliki warna yang cerah, badannya licin, tidak terdapat corak hanya berupa garis lurus di tengah ber- warna hitam, kepala- nya berwana hitam.
2
Hama
Ordo    : Coleoptera
Famili  : Coccinellidae
Spesies : Henosepilachna sparsa
              






Memiliki warna yang  merah kekuningan, me-miliki corak hitam dengan bentuk bulat & berwarna hitam.Kepala berwarna jingga tubuh- nya tidak licin.
3
Predator
Ordo    : Coleoptera
Famili  : Coccinellidae
Spesies :
Coccinella transversalis







Memiliki warna yang mengkilat, bagian ke-pala terdapat warna putih dan hitam,me-miliki corak tubuh yang berukuran besar seperti gambar muka, memiliki warnamerah.
B.     Pembahasan
            Pada praktikum serangga predator Aphis gossypii di ekosistem tanaman sayuran ini, kami menentukan kumbang koksi sebagai predator dan kumbang koksi sebagai hama.  Kutu putih pada daun cabai (Aphys gossypii) mempunyai bentuk yang sama dengan kutu pada daun mangga,memiliki tubuh berbentuk oval, warna badannya kuning kecoklatan, kuning muda atau kuning tua, lunak dengan segmen yang jelas, panjang 3–4 mm dan lebar 1,5–2 mm, seluruh tubuhnya dilindungi oleh lapisan tebal seperti lilin atau tawas dan dikelilingi dengan karangan benang-benang tawas berwarna putih. Kutu putih pada daun cabai keriting (Capsicum annum) memiliki klasifikasi sebagai berikut ,kingdom animalia,  fhylum  arthropoda, kelas hexapoda ,ordo homoptera, family planococcus, genus  aphys, spesies        Aphys gossypii (Fatimah, 2008).
      Kutu putih daun cabai (Aphys gossypii) merupakan jenis hama yang gejala serangannya yaitu terdapat putih-putih pada daun mangga ,pertumbuhan tidak normal dan daun meggeriting. Pengendaliannya yaitu dengan mengambil daun yang terserang hama kutu putih lalu daun-daun tersebut dibakar, bias juga dengan cara menyeprotkan dengan pestisida (Pracaya, 2007).
Pada praktikum ini terdapat empat spesies kumbang koksi, tiga diantaranya adalah kumbang koksi sebagai predator dan satu adalah kumbang koksi sebagai hama. Secara spesifik kumbang koksi tersebut memiliki perbedaan, yaitu Coccinella novemnotata memiliki warna yang cerah, badannya licin, tidak terdapat corak hanya berupa garis lurus di tengah berwarna hitam, kepala nya berwana hitam, Coccinella transversalis memiliki warna yang mengkilat, bagian kepala terdapat warna putih dan hitam,me-miliki corak tubuh yang berukuran besar seperti gambar muka, memiliki warna merah keputihan yang jelas, Micrapis lineate memiliki warna tubuh merah dan licin, me-miliki corak garis-garis atau disebut strip lady bettle berwarna hitam dan  Henosepilachna sparsa memiliki warna yang  merah kekuningan, me-miliki corak hitam dengan bentuk bulat dan berwarna hitam. Kepala berwarna jingga tubuhnya tidak licin (Sulistyo, 2009)
Berdasarkan hasil pengamatan kumbang helem (Coccinela accuta) serangga ini mempunyai ciri morfologi yaitu memiliki sepasang antena, tungkai depan, tungkai tengah dan tungkai belakang,thorax dan abdomen, tipe mulut pengunyah. Serangga ini termasuk dalam golongan predator karena memangsa/ memakan serangga lain, sehingga tidak terdapat gejala serangan pada tumbuhan.
Kumbang helem (Coccinela accuta) memiliki anggota-anggotan antara lain ada yang bertindak sebagai hama tanaman, namun ada juga yang bertindak sebagai predator (pemangsa) bagi serangga lain.Sayap terdiri dari dua pasang. Sayap depan mengeras dan menebal serta tidak memiliki vena sayap dan disebut elytra.Apabila istirahat, elytra seolah-olah terbagi menjadi dua (terbelah tepat di tengah-tengah bagian dorsal). Sayap belakang membranus dan jika sedang istirahat melipat di bawah sayap depan.Alat mulut bertipe penggigit-pengunyah, umumnya mandibula berkembang dengan baik. Pada beberapa jenis, khususnya dari suku Curculionidae alat mulutnya terbentuk pada moncong yang terbentuk di depan kepala.Kumbang helem (Coccinela accuta) memilki klasifikasi sebagai berikut, kingdom animalia, fylum arthropoda, kelas insecta, ordo coleoptera, family  cocynelidae, genus coccinela spesies Coccinela accuta (Pracaya, 2007).
            Selain itu kami mengetahui spesies-spesies serangga predator Aphis gossypii. Predator tersebut tergolong kumbang coccinellid. Pada praktikum ini kumbang koksi sebagai predator Aphis gossypii adalah Coccinella novemnotata, Coccinella transversalis dan Micrapis lineata. Dalam mengidentifikasi kumbang koksi sebagai predator kami juga mendapat kumbang koksi yang berperan sebagai hama yaitu Henosepilachna sparsa.
            Secara umum kumbang koksi predator dan kumbang koksi sebagai hama ini memiliki perbedaan-perbedaan yaitu kumbang koksi sebagai hama warnanya lebih kusam, geraknya lebih lambat dan coraknya lebih kecil, sedangkan kumbang koksi sebagai predator warnanya mengkilat atau cerah, cara jalannya lincah atau cepat dan coraknya lebih besar. Selain itu perbedaan kumbang koksi sebagai predator dan kumbang koksi sebagai hama terletak pada habitatnya.






BAB IV
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan yang didapatkan pada praktikum serangga predator Aphis gossypii di ekosistem tanaman sayuran ini adalah sebagai berikut :

1.      Perbedaan kumbang koksi sebagai predator dan kumbang koksi sebagai hama yaitu  kumbang koksi sebagai predator warnanya mengkilat atau cerah, cara jalannya lincah atau cepat dan coraknya lebih besar sedangkan kumbang koksi sebagai hama warnanya lebih kusam, geraknya lebih lambat dan coraknya lebih kecil.
2.      Spesies kumbang koksi sebagai predator yaitu Coccinella novemnotata, Coccinella transversalis dan Micrapis lineate.
3.      Spesies kumbang koksi sebagai hama yaitu Henosepilachna sparsa.
4.      Serangga Predator adalah serangga yang memangsa atau memakan serangga lain.
5.      Kelompok kumbang koksi terdapat dua kelompok yaitu kumbang koksi sebagai predator dan kumbang koksi sebagai hama.














DAFTAR PUSTAKA

Fatimah, 2008. Hama Tanaman dan Teknik Pengendalian.  Kanisius, Jogjakarta

Pracaya, 2007. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Jumat, 27 November 2015

fungi pelarut fospat



MAKALAH TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN
FUNGI PELARUT FOSPAT”






DI SUSUN OLEH :
1.    MELITA ANGGRAINI ( 05071181320076 )



JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari teman teman saya untuk memberikan materi dan pendapat nya. Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.












BAB 1. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Fosfat merupakan nutrisi essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 9599% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Sanjotha, dkk., 2011). Pada tanahtanah masam, fosfat akan bersenyawa dalam bentuk-bentuk Al-P, Fe-P, dan occluded-P, sedangkan pada tanah-tanah alkali, fosfat akan bersenyawa dengan kalsium (Ca) sebagai Ca-P membentuk senyawa kompleks yang sukar larut (Ginting, dkk., 2006).  Banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah antara lain penambahan pupuk kandang, guano, dolomit, serta bahan organik yang berasal dari serasah tanaman. Seiring dengan perkembangan bioteknologi pertanian, maka alternatif lain untuk meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah adalah dengan memanfaatkan jamur pelarut fosfat dan mikoriza.
Mikroorganisme pelarut fosfat merupakan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan mengekstrak fosfat dari bentuk yang tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman melalui sekresi asamasam organik yang dihasilkan untuk melepaskan P dari kompleks jerapan (Hanafiah, dkk, 2009). Penggunaan mikroorganisme  pelarut fosfat di tanah Ultisol berpengaruh nyata dalam meningkatkan P tersedia tanah dan berat kering akar tanaman jagung (Nasution, 2010). Aplikasi jamur pelarut fosfat sebanyak 20 ml/polybag pada tanah Andisol mampu meningkatkan berat basah dan serapan P tanaman cabai dan menurun dengan meningkatnya dosis yang diaplikasikan (Sembiring, 2012). Inokulasi bakteri pelarut fosfat pada tanah Vertisol dapat meningkatkan P tersedia tanah (Dulur, 2010).
Selain penggunaan mikrobia pelarut fosfat, penggunaan mikoriza juga mampu meningkatkan unsur hara baik makro maupun mikro dan dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi tanaman seperti P. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara terutama fosfor pada lahan marjinal (Hanafiah, dkk., 2009). Hasil penelitian Cozzolino, dkk., (2013) menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza dapat digunakan sebagai komponen strategi pengelolaan hara terpadu dimana aplikasi inokulum mikoriza komersial pada perlakuan pupuk NK menghasilkan pertumbuhan tanaman, berat gabah dan serapan P yang sebanding dengan perlakuan pemberian pupuk P (NPK). Penggunaan jamur pelarut fosfat dan mikoriza telah banyak diamati pada tanah tanah masam namun sangat jarang pada tanah-tanah alkali. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan pemanfaatan jamur pelarut fosfat dan mikoriza untuk meningkatkan ketersediaan dan serapan P tanaman jagung pada tanah alkalin..


2. Rumusan Masalah
1.   Apa jenis jenis fungi pelarut fospat?
2.   Bagaimana mekanisme pelarutan fospat?



3. Tujuan
1.untuk mengetahui jenis jenis fungi pelarut fospat
2.untuk mengetahui cara mekanisme pelarut fospat















BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch, 1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977). Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase diekskresi-kan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et al., 2000). Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase (Gaur et al., 1980; Paul dan Clark, 1989).
Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia. Louw dan Webley (1959) meyakini bahwa salah satu mekanisme pelepasan P yang terikat pada besi fosfat terkait dengan hidrogen sulfida (H2S) yang diproduksi oleh bakteri pelarut fosfat. Pengkhelatan Fe3+ dari FeP oleh siderophore (ferric-specific chelates) yang diproduksi oleh beberapa bakteri pelarut fosfat juga diyakini sebagai salah satu mekanisme pelarutan hara P pada tanah-tanah masam (Mullen, 1998). Hasil penelitian Louw dan Webley (1958; 1959) menggunakan berbagai sumber P menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri pelarut fosfat yang digunakan mampu melepaskan/melarutkan P dari batuan fosfat Gafsa (hidroksiapatit) dan kalsium fosfat, tetapi tidak satupun dari isolat tersebut mampu melepaskan P dalam bentuk variscite (AlPO4. 2H2O), strengite (FePO4.2H2O), dan taranakite (2K2O.3Al2O3. 5P2O5. 26H2O) yang banyak terdapat pada tanah-tanah masam.
Hasil ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan mekanisme pelepasan P-terikat pada tanah-tanah bereaksi netral dan basa dengan tanah-tanah bereaksi masam. Penelitian lebih jauh mengenai mekanisme pelepasan unsur P-terikat pada tanah-tanah masam yang banyak terdapat di daerah tropika seperti di Indonesia masih sangat diperlukan.  Aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat sangat tergantung pada pH tanah (Soepardi, 1983). Kecepatan mineralisasi juga meningkat dengan nilai pH yang sesuai bagi metabolisme mikroorganisme dan pelepasan fosfat akan meningkat dengan meningkatnya nilai pH dari asam ke netral. Selain itu, kecepatan mineralisasi ternyata berkorelasi langsung dengan jumlah substrat. Tanah-tanah yang kaya fosfat organik merupakan tanah yang paling aktif bagi berlangsungnya proses mineralisasi (Alexander, 1977). Asam-asam organik yang dihasilkan mikroorganisme berbeda kualitas dan kuantitasnya dalam membebaskan fosfat (Soepardi, 1983).
 Asam-asam organik yang dihasilkan mikroorganisme pelarut fosfat mempunyai kemampuan untuk melarutkan fosfat dari yang terkuat sampai terlemah menurut urutan sebagai berikut: sitrat > oksalat > tartat > malat > HCl (Kim et al., 1997). Nagarajah et al. (1970) menggolongkan asam sitrat dan oksalat sangat efektif dalam melarutkan fosfat dari kaolinit dan gibsit, sedangkan asam malonat, tartarat dan malat, keefektifannya sedang, serta asam asetat dan suksinat digolongkan kurang efektif. Pada tanah vulkanik yang kaya  alovan, asam-asam organik (benzoat, p-OH benzoat, salisilat, dan ptalat) tidak mampu melarutkan fosfat. Earl et al.  (1979) meneliti pengaruh asam organik (sitrat, tartarat, dan asetat) pada gel Al dan Fe terhadap jerapan P. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa anion organik, maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak. Asam sitrat menjerap P jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalam hal mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat kedua asam tersebut tidak berbeda. Asam asetat tidak efektif dalam melarutkan fosfat, karena asetat kurang kuat dalam membentuk kompleks dengan Al maupun Fe. Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah: (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, sehingga memperbesar peluang ortofosfat dapat diserap oleh tanaman; (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam organik (Beaucamp dan Hume, 1997); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan oleh ligan organik (Havlin et al., 1999). Hue et al. (1986) melaporkan bahwa beberapa asam organik juga dapat mengurangi daya racun Al yang dapat dipertukarkan (Al-dd) pada tanaman kapas.
Kemampuan detoksifikasi asam organik terhadap Al-dd digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu kuat (sitrat, oksalat, dan tartarat), sedang (malat, malonat, dan salisilat), dan lemah (suksinat, laktat, asetat, dan ptalat). Selain itu, Premono et al. (1992) juga mendapatkan bahwa mikroorganisme pelarut fosfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn, dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal. Terdapatnya asamasam organik sitrat, oksalat, malat, tartarat dan malonat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P oleh unsur penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam.
BAB III. PEMBAHASAN
1.      Jenis fungi pelarut fospat
Dari golongan jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp.. Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet.
Terdapat lebih kurang 2000 jenis bakteri dan 50 jenis fungi yang terkait dengan proses perombakan selulosa pada pengomposan (Subba-Rao, 1994). Proses pembuatan kompos merupakan sistem kerjasama beberapa mikroba pemecah selulosa yang mempunyai ragam sifat fisiologis. Beberapa mikroba tersebut dapat dijumpai di alam, khususnya fungi jenis Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp. Kompos yang baik sebagai penyubur tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah, harus mengandung 8 macam nutrisi, yaitu: karbon (C) sebesar 19,0-40,0%, nitrogen (N) sebesar 2,0-2,5%, fosfor (P) sebesar 0,01-0,14%, kalium (K) sebesar 0,039-1,35%, magnesium (Mg) sebesar 0,04-0,21% dan C/N ratio sebesar 9,0-20% (Gaur, 1986). Seperti dikemukakan oleh Sastraatmadja dkk. (2001), bahwa kompos sebagai salah satu pupuk alam akan merupakan bahan subtitusi yang penting terhadap pupuk kandang dan pupuk hijau.
Pemanfaatan jamur tanh yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti tersebut. DAS (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander,1978). Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 % (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pealrutan Ca-P, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4, sedangkan Aspergillus niger yang diteliti oleh Anas et al (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larutan dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat. Aspergillus ficum yang diteliti oleh Premono (1964) mampu meningkatkan ketersediaan P pada tanah sebesar 25 % dan mampu melarutkan bentuk-bentuk Ca-P dan Fe-P.
Berdasarkan hasil penelitian Edson (2006), Aspergillus sp. merupakan fungi pelarut fosfat yang paling efektif dalam melarutkan fosfat. Populasi fungi pelarut fosfat terbesar diisolasi pada media tumbuh GAGES dan GES. Mikroorganisme pelarut fosfat mampu mengubah senyawa fosfat anorganik tidak larut menjadi bentuk terlarut yaitu Aspergillus awamori, Pennicillium digitatum, aspergillus niger, scwanniomycetes occidentalis, Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp.
2.mekanisme pelarut fospat
Di dalam tanah, fosfat dapat berbentuk organik dan anorganik yang merupakan sumber fosfat penting bagi tanaman. Fosfat organik berasal dari bahan organik, sedangkan fosfat anorganik berasal dari mineral-mineral yang mengandung fosfat. Pelarutan senyawa fosfat oleh mikroorganisme pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan biologis baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik.
Mikroorganisme pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya. Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia merupakan mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, α-ketoglutarat, asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat, fumarat (Illmer dan Schinner, 1992; Banik dan Dey, 1982; Alexander, 1977; Beauchamp dan Hume, 1997).
Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Penurunan pH juga dapat disebabkan karena terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1977). Perubahan pH berperanan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat (Thomas, 1985; Asea et al., 1988). Selanjutnya asam-asam organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman.  Beberapa hasil penelitian dalam dekade terakhir, antar lain hasil penelitian Moghimi dan Tate (1978) menyimpulkan bahwa asam 2ketoglukonat yang banyak terdapat pada rizosfir gandum berperan sebagai
penyedia ion hidrogen untuk melarutkan hidroksiapatit, tetapi bukan sebagai agen pengkhelat kalsium. Ditambahkan oleh hasil penelitian Kim et al. (1997) yang menyimpulkan bahwa meskipun asam yang diproduksi berperan penting dalam pelarutan hidroksiapatit, mekanisme ini bukan satusatunya cara mikroorganisme pelarut fosfat melarutkan P-terikat. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pelarutan P dipacu oleh pelepasan proton dalam proses respirasi atau pembentukan NH4+ (De Freitas et al., 1997; Bolan et al., 1997). Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch, 1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977).
Fosfatase diekskresi-kan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et al., 2000). Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase (Gaur et al., 1980; Paul dan Clark,1989). Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia





BAB IV. PENUTUP
1.      Kesimpulan

            Fosfat merupakan nutrisi essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 9599% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Sanjotha, dkk., 2011). Dari golongan jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp..
2.  Saran
 Ada banyak macam macam fungi pelarut fospat,kita hanya mempelajari dan memahami macam macam fungi yang sering digunakan.












DAFTAR PUSTAKA

Anas, I., E. Premono dan R. Widyastuti. 1993. Peningkatan efisiensi pemupukan P dengan menggunakan mikroorganisme pelarut P. Pusat Antar Universitas IPB.Bogor.

Baniks, S. 1982. Available phosphate content of an alluvial soils as influenced by inoculation of some isolated phosphate-solubilizing microorganism. Plant soil 60 :353-364.

Buresh, R.J., Smithson, P.C. and Hellums, D.T. 1997. Building soil phospharus capital in Africa. P. 111-149. In. R.J. Buresh et al. (eds). Replenishing soil fertility in Africa SSSA Spec. Publ. 51. SSSA, Madison,WI.

Carroll, G.C. and Wicklow, D.T. 1992. The fungal community: Its organization and Role in the Ecosystem. Marcel Deker, Inc., New York.

Chonkar and Subba rao. 1967. Phosphate Solubilizing by fungi associated with legume root modules.Canadian,J. Microbial. 13 :749-752.

Dhandhun Baratha. 2004. Hubungan Antarainokulasi Fungi Pelarut Fosfat, Pemberian Sumber C dan Waktu Inkubasi Terhadap Ketersedian P Pupuk Fosfat Alam. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Gressel, N and J.G. McColl. 1997. Phosporus mineralization and organic matter decomposition: A critical review. In. K.E. Giller and G. Cadisch (eds). Driven by nature p.297-312. CAB International.


Isaac, S., Frankland, J.C., Watling, R. and Whalley, A.J.S. 1993. Aspects of tropical mycology. Cambridge University Press, Cambridge, U.K.

Lestari, P. 1994. Pengaruh Fungi Pelarut fosfat terhadap serapan hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasrjana.Universitas Sriwijaya

Maningsih, G dan I. Anas. 1996. peranan Aspergillus Niger dan bahan organic dalam transformasi P anorganik tanah. Dalam Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Badan Litbang pertanian. Puslittanak.
 14:31-36.

Merton, F and Brotzman, H. 1979. Phytopathogenic fungi: A scanning electron stereoscopic survey. University of Missouri Columbia Extension Division.Columbia, Missouri. 204pp.

Nelson, P.E. 1983. Fusarium Species: An Illustrated manual of identification. The Pennsylvania state University Press.
 University Park.193pp.