Jumat, 27 November 2015

fungi pelarut fospat



MAKALAH TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN
FUNGI PELARUT FOSPAT”






DI SUSUN OLEH :
1.    MELITA ANGGRAINI ( 05071181320076 )



JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari teman teman saya untuk memberikan materi dan pendapat nya. Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.












BAB 1. PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Fosfat merupakan nutrisi essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 9599% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Sanjotha, dkk., 2011). Pada tanahtanah masam, fosfat akan bersenyawa dalam bentuk-bentuk Al-P, Fe-P, dan occluded-P, sedangkan pada tanah-tanah alkali, fosfat akan bersenyawa dengan kalsium (Ca) sebagai Ca-P membentuk senyawa kompleks yang sukar larut (Ginting, dkk., 2006).  Banyak upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah antara lain penambahan pupuk kandang, guano, dolomit, serta bahan organik yang berasal dari serasah tanaman. Seiring dengan perkembangan bioteknologi pertanian, maka alternatif lain untuk meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah adalah dengan memanfaatkan jamur pelarut fosfat dan mikoriza.
Mikroorganisme pelarut fosfat merupakan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan mengekstrak fosfat dari bentuk yang tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman melalui sekresi asamasam organik yang dihasilkan untuk melepaskan P dari kompleks jerapan (Hanafiah, dkk, 2009). Penggunaan mikroorganisme  pelarut fosfat di tanah Ultisol berpengaruh nyata dalam meningkatkan P tersedia tanah dan berat kering akar tanaman jagung (Nasution, 2010). Aplikasi jamur pelarut fosfat sebanyak 20 ml/polybag pada tanah Andisol mampu meningkatkan berat basah dan serapan P tanaman cabai dan menurun dengan meningkatnya dosis yang diaplikasikan (Sembiring, 2012). Inokulasi bakteri pelarut fosfat pada tanah Vertisol dapat meningkatkan P tersedia tanah (Dulur, 2010).
Selain penggunaan mikrobia pelarut fosfat, penggunaan mikoriza juga mampu meningkatkan unsur hara baik makro maupun mikro dan dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi tanaman seperti P. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara terutama fosfor pada lahan marjinal (Hanafiah, dkk., 2009). Hasil penelitian Cozzolino, dkk., (2013) menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza dapat digunakan sebagai komponen strategi pengelolaan hara terpadu dimana aplikasi inokulum mikoriza komersial pada perlakuan pupuk NK menghasilkan pertumbuhan tanaman, berat gabah dan serapan P yang sebanding dengan perlakuan pemberian pupuk P (NPK). Penggunaan jamur pelarut fosfat dan mikoriza telah banyak diamati pada tanah tanah masam namun sangat jarang pada tanah-tanah alkali. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan pemanfaatan jamur pelarut fosfat dan mikoriza untuk meningkatkan ketersediaan dan serapan P tanaman jagung pada tanah alkalin..


2. Rumusan Masalah
1.   Apa jenis jenis fungi pelarut fospat?
2.   Bagaimana mekanisme pelarutan fospat?



3. Tujuan
1.untuk mengetahui jenis jenis fungi pelarut fospat
2.untuk mengetahui cara mekanisme pelarut fospat















BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch, 1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977). Fosfatase merupakan enzim yang akan dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase diekskresi-kan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et al., 2000). Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase (Gaur et al., 1980; Paul dan Clark, 1989).
Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia. Louw dan Webley (1959) meyakini bahwa salah satu mekanisme pelepasan P yang terikat pada besi fosfat terkait dengan hidrogen sulfida (H2S) yang diproduksi oleh bakteri pelarut fosfat. Pengkhelatan Fe3+ dari FeP oleh siderophore (ferric-specific chelates) yang diproduksi oleh beberapa bakteri pelarut fosfat juga diyakini sebagai salah satu mekanisme pelarutan hara P pada tanah-tanah masam (Mullen, 1998). Hasil penelitian Louw dan Webley (1958; 1959) menggunakan berbagai sumber P menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri pelarut fosfat yang digunakan mampu melepaskan/melarutkan P dari batuan fosfat Gafsa (hidroksiapatit) dan kalsium fosfat, tetapi tidak satupun dari isolat tersebut mampu melepaskan P dalam bentuk variscite (AlPO4. 2H2O), strengite (FePO4.2H2O), dan taranakite (2K2O.3Al2O3. 5P2O5. 26H2O) yang banyak terdapat pada tanah-tanah masam.
Hasil ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan mekanisme pelepasan P-terikat pada tanah-tanah bereaksi netral dan basa dengan tanah-tanah bereaksi masam. Penelitian lebih jauh mengenai mekanisme pelepasan unsur P-terikat pada tanah-tanah masam yang banyak terdapat di daerah tropika seperti di Indonesia masih sangat diperlukan.  Aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat sangat tergantung pada pH tanah (Soepardi, 1983). Kecepatan mineralisasi juga meningkat dengan nilai pH yang sesuai bagi metabolisme mikroorganisme dan pelepasan fosfat akan meningkat dengan meningkatnya nilai pH dari asam ke netral. Selain itu, kecepatan mineralisasi ternyata berkorelasi langsung dengan jumlah substrat. Tanah-tanah yang kaya fosfat organik merupakan tanah yang paling aktif bagi berlangsungnya proses mineralisasi (Alexander, 1977). Asam-asam organik yang dihasilkan mikroorganisme berbeda kualitas dan kuantitasnya dalam membebaskan fosfat (Soepardi, 1983).
 Asam-asam organik yang dihasilkan mikroorganisme pelarut fosfat mempunyai kemampuan untuk melarutkan fosfat dari yang terkuat sampai terlemah menurut urutan sebagai berikut: sitrat > oksalat > tartat > malat > HCl (Kim et al., 1997). Nagarajah et al. (1970) menggolongkan asam sitrat dan oksalat sangat efektif dalam melarutkan fosfat dari kaolinit dan gibsit, sedangkan asam malonat, tartarat dan malat, keefektifannya sedang, serta asam asetat dan suksinat digolongkan kurang efektif. Pada tanah vulkanik yang kaya  alovan, asam-asam organik (benzoat, p-OH benzoat, salisilat, dan ptalat) tidak mampu melarutkan fosfat. Earl et al.  (1979) meneliti pengaruh asam organik (sitrat, tartarat, dan asetat) pada gel Al dan Fe terhadap jerapan P. Hasilnya menunjukkan bahwa tanpa anion organik, maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak. Asam sitrat menjerap P jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalam hal mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat kedua asam tersebut tidak berbeda. Asam asetat tidak efektif dalam melarutkan fosfat, karena asetat kurang kuat dalam membentuk kompleks dengan Al maupun Fe. Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantaranya adalah: (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, sehingga memperbesar peluang ortofosfat dapat diserap oleh tanaman; (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam organik (Beaucamp dan Hume, 1997); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan oleh ligan organik (Havlin et al., 1999). Hue et al. (1986) melaporkan bahwa beberapa asam organik juga dapat mengurangi daya racun Al yang dapat dipertukarkan (Al-dd) pada tanaman kapas.
Kemampuan detoksifikasi asam organik terhadap Al-dd digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu kuat (sitrat, oksalat, dan tartarat), sedang (malat, malonat, dan salisilat), dan lemah (suksinat, laktat, asetat, dan ptalat). Selain itu, Premono et al. (1992) juga mendapatkan bahwa mikroorganisme pelarut fosfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn, dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal. Terdapatnya asamasam organik sitrat, oksalat, malat, tartarat dan malonat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P oleh unsur penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam.
BAB III. PEMBAHASAN
1.      Jenis fungi pelarut fospat
Dari golongan jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp.. Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet.
Terdapat lebih kurang 2000 jenis bakteri dan 50 jenis fungi yang terkait dengan proses perombakan selulosa pada pengomposan (Subba-Rao, 1994). Proses pembuatan kompos merupakan sistem kerjasama beberapa mikroba pemecah selulosa yang mempunyai ragam sifat fisiologis. Beberapa mikroba tersebut dapat dijumpai di alam, khususnya fungi jenis Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp. Kompos yang baik sebagai penyubur tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah, harus mengandung 8 macam nutrisi, yaitu: karbon (C) sebesar 19,0-40,0%, nitrogen (N) sebesar 2,0-2,5%, fosfor (P) sebesar 0,01-0,14%, kalium (K) sebesar 0,039-1,35%, magnesium (Mg) sebesar 0,04-0,21% dan C/N ratio sebesar 9,0-20% (Gaur, 1986). Seperti dikemukakan oleh Sastraatmadja dkk. (2001), bahwa kompos sebagai salah satu pupuk alam akan merupakan bahan subtitusi yang penting terhadap pupuk kandang dan pupuk hijau.
Pemanfaatan jamur tanh yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti tersebut. DAS (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander,1978). Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 % (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pealrutan Ca-P, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4, sedangkan Aspergillus niger yang diteliti oleh Anas et al (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larutan dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat. Aspergillus ficum yang diteliti oleh Premono (1964) mampu meningkatkan ketersediaan P pada tanah sebesar 25 % dan mampu melarutkan bentuk-bentuk Ca-P dan Fe-P.
Berdasarkan hasil penelitian Edson (2006), Aspergillus sp. merupakan fungi pelarut fosfat yang paling efektif dalam melarutkan fosfat. Populasi fungi pelarut fosfat terbesar diisolasi pada media tumbuh GAGES dan GES. Mikroorganisme pelarut fosfat mampu mengubah senyawa fosfat anorganik tidak larut menjadi bentuk terlarut yaitu Aspergillus awamori, Pennicillium digitatum, aspergillus niger, scwanniomycetes occidentalis, Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp.
2.mekanisme pelarut fospat
Di dalam tanah, fosfat dapat berbentuk organik dan anorganik yang merupakan sumber fosfat penting bagi tanaman. Fosfat organik berasal dari bahan organik, sedangkan fosfat anorganik berasal dari mineral-mineral yang mengandung fosfat. Pelarutan senyawa fosfat oleh mikroorganisme pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan biologis baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik.
Mikroorganisme pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya. Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia merupakan mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme tersebut mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah seperti oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, α-ketoglutarat, asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat, fumarat (Illmer dan Schinner, 1992; Banik dan Dey, 1982; Alexander, 1977; Beauchamp dan Hume, 1997).
Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Penurunan pH juga dapat disebabkan karena terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas (Alexander, 1977). Perubahan pH berperanan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat (Thomas, 1985; Asea et al., 1988). Selanjutnya asam-asam organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan ion fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman.  Beberapa hasil penelitian dalam dekade terakhir, antar lain hasil penelitian Moghimi dan Tate (1978) menyimpulkan bahwa asam 2ketoglukonat yang banyak terdapat pada rizosfir gandum berperan sebagai
penyedia ion hidrogen untuk melarutkan hidroksiapatit, tetapi bukan sebagai agen pengkhelat kalsium. Ditambahkan oleh hasil penelitian Kim et al. (1997) yang menyimpulkan bahwa meskipun asam yang diproduksi berperan penting dalam pelarutan hidroksiapatit, mekanisme ini bukan satusatunya cara mikroorganisme pelarut fosfat melarutkan P-terikat. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pelarutan P dipacu oleh pelepasan proton dalam proses respirasi atau pembentukan NH4+ (De Freitas et al., 1997; Bolan et al., 1997). Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch, 1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977).
Fosfatase diekskresi-kan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et al., 2000). Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase (Gaur et al., 1980; Paul dan Clark,1989). Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia





BAB IV. PENUTUP
1.      Kesimpulan

            Fosfat merupakan nutrisi essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 9599% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman (Sanjotha, dkk., 2011). Dari golongan jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp..
2.  Saran
 Ada banyak macam macam fungi pelarut fospat,kita hanya mempelajari dan memahami macam macam fungi yang sering digunakan.












DAFTAR PUSTAKA

Anas, I., E. Premono dan R. Widyastuti. 1993. Peningkatan efisiensi pemupukan P dengan menggunakan mikroorganisme pelarut P. Pusat Antar Universitas IPB.Bogor.

Baniks, S. 1982. Available phosphate content of an alluvial soils as influenced by inoculation of some isolated phosphate-solubilizing microorganism. Plant soil 60 :353-364.

Buresh, R.J., Smithson, P.C. and Hellums, D.T. 1997. Building soil phospharus capital in Africa. P. 111-149. In. R.J. Buresh et al. (eds). Replenishing soil fertility in Africa SSSA Spec. Publ. 51. SSSA, Madison,WI.

Carroll, G.C. and Wicklow, D.T. 1992. The fungal community: Its organization and Role in the Ecosystem. Marcel Deker, Inc., New York.

Chonkar and Subba rao. 1967. Phosphate Solubilizing by fungi associated with legume root modules.Canadian,J. Microbial. 13 :749-752.

Dhandhun Baratha. 2004. Hubungan Antarainokulasi Fungi Pelarut Fosfat, Pemberian Sumber C dan Waktu Inkubasi Terhadap Ketersedian P Pupuk Fosfat Alam. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Gressel, N and J.G. McColl. 1997. Phosporus mineralization and organic matter decomposition: A critical review. In. K.E. Giller and G. Cadisch (eds). Driven by nature p.297-312. CAB International.


Isaac, S., Frankland, J.C., Watling, R. and Whalley, A.J.S. 1993. Aspects of tropical mycology. Cambridge University Press, Cambridge, U.K.

Lestari, P. 1994. Pengaruh Fungi Pelarut fosfat terhadap serapan hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasrjana.Universitas Sriwijaya

Maningsih, G dan I. Anas. 1996. peranan Aspergillus Niger dan bahan organic dalam transformasi P anorganik tanah. Dalam Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Badan Litbang pertanian. Puslittanak.
 14:31-36.

Merton, F and Brotzman, H. 1979. Phytopathogenic fungi: A scanning electron stereoscopic survey. University of Missouri Columbia Extension Division.Columbia, Missouri. 204pp.

Nelson, P.E. 1983. Fusarium Species: An Illustrated manual of identification. The Pennsylvania state University Press.
 University Park.193pp.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar