MAKALAH
TEKNOLOGI PUPUK DAN PEMUPUKAN
“FUNGI
PELARUT FOSPAT”
DI
SUSUN OLEH :
1. MELITA ANGGRAINI ( 05071181320076 )
JURUSAN
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari teman teman saya untuk memberikan materi dan
pendapat nya. Makalah ilmiah ini telah saya susun dengan maksimal dan
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini.
Dan
harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
BAB
1. PENDAHULUAN
1.Latar
Belakang
Fosfat merupakan nutrisi essensial yang diperlukan
oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat
dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 9599% terdapat dalam
bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman
(Sanjotha, dkk., 2011). Pada tanahtanah masam, fosfat akan bersenyawa dalam
bentuk-bentuk Al-P, Fe-P, dan occluded-P, sedangkan pada tanah-tanah alkali,
fosfat akan bersenyawa dengan kalsium (Ca) sebagai Ca-P membentuk senyawa
kompleks yang sukar larut (Ginting, dkk., 2006). Banyak upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah antara lain penambahan pupuk
kandang, guano, dolomit, serta bahan organik yang berasal dari serasah tanaman.
Seiring dengan perkembangan bioteknologi pertanian, maka alternatif lain untuk
meningkatkan ketersediaan fosfat di dalam tanah adalah dengan memanfaatkan
jamur pelarut fosfat dan mikoriza.
Mikroorganisme pelarut fosfat merupakan
mikroorganisme yang mempunyai kemampuan mengekstrak fosfat dari bentuk yang
tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman melalui sekresi asamasam
organik yang dihasilkan untuk melepaskan P dari kompleks jerapan (Hanafiah,
dkk, 2009). Penggunaan mikroorganisme
pelarut fosfat di tanah Ultisol berpengaruh nyata dalam meningkatkan P
tersedia tanah dan berat kering akar tanaman jagung (Nasution, 2010). Aplikasi
jamur pelarut fosfat sebanyak 20 ml/polybag pada tanah Andisol mampu
meningkatkan berat basah dan serapan P tanaman cabai dan menurun dengan
meningkatnya dosis yang diaplikasikan (Sembiring, 2012). Inokulasi bakteri
pelarut fosfat pada tanah Vertisol dapat meningkatkan P tersedia tanah (Dulur,
2010).
Selain penggunaan mikrobia pelarut fosfat,
penggunaan mikoriza juga mampu meningkatkan unsur hara baik makro maupun mikro
dan dapat menyerap unsur hara dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi
tanaman seperti P. Mikoriza mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir
90% jenis tanaman dan membantu dalam meningkatkan efisiensi penyerapan unsur
hara terutama fosfor pada lahan marjinal (Hanafiah, dkk., 2009). Hasil
penelitian Cozzolino, dkk., (2013) menunjukkan bahwa inokulasi mikoriza dapat
digunakan sebagai komponen strategi pengelolaan hara terpadu dimana aplikasi
inokulum mikoriza komersial pada perlakuan pupuk NK menghasilkan pertumbuhan
tanaman, berat gabah dan serapan P yang sebanding dengan perlakuan pemberian
pupuk P (NPK). Penggunaan jamur pelarut fosfat dan mikoriza telah banyak
diamati pada tanah tanah masam namun sangat jarang pada tanah-tanah alkali.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan pemanfaatan jamur pelarut
fosfat dan mikoriza untuk meningkatkan ketersediaan dan serapan P tanaman
jagung pada tanah alkalin..
2. Rumusan Masalah
1. Apa
jenis jenis fungi pelarut fospat?
2. Bagaimana
mekanisme pelarutan fospat?
3.
Tujuan
1.untuk mengetahui jenis jenis fungi pelarut fospat
2.untuk mengetahui cara mekanisme pelarut fospat
BAB
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pelarutan fosfat secara biologis terjadi karena
mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim fosfatase (Lynch,
1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977). Fosfatase merupakan enzim yang akan
dihasilkan apabila ketersediaan fosfat rendah. Fosfatase diekskresi-kan oleh
akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang lebih dominan adalah
fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et al., 2000). Pada proses
mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik diuraikan menjadi bentuk
fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan bantuan enzim fosfatase
(Gaur et al., 1980; Paul dan Clark, 1989).
Enzim fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat
oleh senyawa-senyawa organik menjadi bentuk yang tersedia. Louw dan Webley
(1959) meyakini bahwa salah satu mekanisme pelepasan P yang terikat pada besi
fosfat terkait dengan hidrogen sulfida (H2S) yang diproduksi oleh bakteri
pelarut fosfat. Pengkhelatan Fe3+ dari FeP oleh siderophore (ferric-specific
chelates) yang diproduksi oleh beberapa bakteri pelarut fosfat juga diyakini
sebagai salah satu mekanisme pelarutan hara P pada tanah-tanah masam (Mullen,
1998). Hasil penelitian Louw dan Webley (1958; 1959) menggunakan berbagai
sumber P menunjukkan bahwa beberapa isolat bakteri pelarut fosfat yang
digunakan mampu melepaskan/melarutkan P dari batuan fosfat Gafsa
(hidroksiapatit) dan kalsium fosfat, tetapi tidak satupun dari isolat tersebut
mampu melepaskan P dalam bentuk variscite (AlPO4. 2H2O), strengite
(FePO4.2H2O), dan taranakite (2K2O.3Al2O3. 5P2O5. 26H2O) yang banyak terdapat
pada tanah-tanah masam.
Hasil ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan
mekanisme pelepasan P-terikat pada tanah-tanah bereaksi netral dan basa dengan
tanah-tanah bereaksi masam. Penelitian lebih jauh mengenai mekanisme pelepasan
unsur P-terikat pada tanah-tanah masam yang banyak terdapat di daerah tropika
seperti di Indonesia masih sangat diperlukan.
Aktivitas mikroorganisme pelarut fosfat sangat tergantung pada pH tanah
(Soepardi, 1983). Kecepatan mineralisasi juga meningkat dengan nilai pH yang
sesuai bagi metabolisme mikroorganisme dan pelepasan fosfat akan meningkat
dengan meningkatnya nilai pH dari asam ke netral. Selain itu, kecepatan
mineralisasi ternyata berkorelasi langsung dengan jumlah substrat. Tanah-tanah
yang kaya fosfat organik merupakan tanah yang paling aktif bagi berlangsungnya
proses mineralisasi (Alexander, 1977). Asam-asam organik yang dihasilkan
mikroorganisme berbeda kualitas dan kuantitasnya dalam membebaskan fosfat
(Soepardi, 1983).
Asam-asam
organik yang dihasilkan mikroorganisme pelarut fosfat mempunyai kemampuan untuk
melarutkan fosfat dari yang terkuat sampai terlemah menurut urutan sebagai
berikut: sitrat > oksalat > tartat > malat > HCl (Kim et al.,
1997). Nagarajah et al. (1970) menggolongkan asam sitrat dan oksalat sangat
efektif dalam melarutkan fosfat dari kaolinit dan gibsit, sedangkan asam
malonat, tartarat dan malat, keefektifannya sedang, serta asam asetat dan
suksinat digolongkan kurang efektif. Pada tanah vulkanik yang kaya alovan, asam-asam organik (benzoat, p-OH
benzoat, salisilat, dan ptalat) tidak mampu melarutkan fosfat. Earl et al. (1979) meneliti pengaruh asam organik
(sitrat, tartarat, dan asetat) pada gel Al dan Fe terhadap jerapan P. Hasilnya
menunjukkan bahwa tanpa anion organik, maka Fe menjerap P dalam jumlah yang
sangat banyak. Asam sitrat menjerap P jauh lebih banyak dibanding tartarat,
demikian pula dalam hal mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat
kedua asam tersebut tidak berbeda. Asam asetat tidak efektif dalam melarutkan
fosfat, karena asetat kurang kuat dalam membentuk kompleks dengan Al maupun Fe.
Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa
mekanisme, diantaranya adalah: (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat
pada permukaan tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, sehingga
memperbesar peluang ortofosfat dapat diserap oleh tanaman; (2) pelepasan
ortofosfat dari ikatan logam-P melalui pembentukan kompleks logam organik
(Beaucamp dan Hume, 1997); dan (3) modifikasi muatan permukaan tapak jerapan
oleh ligan organik (Havlin et al., 1999). Hue et al. (1986) melaporkan bahwa
beberapa asam organik juga dapat mengurangi daya racun Al yang dapat
dipertukarkan (Al-dd) pada tanaman kapas.
Kemampuan detoksifikasi asam organik terhadap Al-dd
digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu kuat (sitrat, oksalat, dan tartarat),
sedang (malat, malonat, dan salisilat), dan lemah (suksinat, laktat, asetat,
dan ptalat). Selain itu, Premono et al. (1992) juga mendapatkan bahwa
mikroorganisme pelarut fosfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn, dan Cu yang
terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada
pada tingkat kandungan yang normal. Terdapatnya asamasam organik sitrat,
oksalat, malat, tartarat dan malonat di dalam tanah sangat penting artinya
dalam mengurangi pengikatan P oleh unsur penjerapnya dan mengurangi daya racun
aluminium pada tanah masam.
BAB III. PEMBAHASAN
1.
Jenis fungi
pelarut fospat
Dari golongan
jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum,
Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah
Streptomyces sp.. Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam
media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen
P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur
Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan
organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut
fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa
simpan 90 hari dalam bentuk pelet.
Terdapat lebih
kurang 2000 jenis bakteri dan 50 jenis fungi yang terkait dengan proses
perombakan selulosa pada pengomposan (Subba-Rao, 1994). Proses pembuatan kompos
merupakan sistem kerjasama beberapa mikroba pemecah selulosa yang mempunyai
ragam sifat fisiologis. Beberapa mikroba tersebut dapat dijumpai di alam,
khususnya fungi jenis Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp.,
dan Chaetomium sp. Kompos yang baik sebagai penyubur tanah dan dapat
memperbaiki struktur tanah, harus mengandung 8 macam nutrisi, yaitu: karbon (C)
sebesar 19,0-40,0%, nitrogen (N) sebesar 2,0-2,5%, fosfor (P) sebesar
0,01-0,14%, kalium (K) sebesar 0,039-1,35%, magnesium (Mg) sebesar 0,04-0,21%
dan C/N ratio sebesar 9,0-20% (Gaur, 1986). Seperti dikemukakan oleh
Sastraatmadja dkk. (2001), bahwa kompos sebagai salah satu pupuk alam akan
merupakan bahan subtitusi yang penting
terhadap pupuk kandang dan pupuk hijau.
Pemanfaatan
jamur tanh yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti
tersebut. DAS (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Pennicillium
sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur
yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander,1978).
Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan,
jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Pennicillium
sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 %
(Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus
awamori berperanan dalam pealrutan Ca-P, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus
candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh
melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4, sedangkan
Aspergillus niger yang diteliti oleh Anas et al (1993) dan Lestari (1994) sangat
baik dalam meningkatkan P larutan dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10
kali lipat. Aspergillus ficum yang diteliti oleh Premono (1964) mampu
meningkatkan ketersediaan P pada tanah sebesar 25 % dan mampu melarutkan
bentuk-bentuk Ca-P dan Fe-P.
Berdasarkan
hasil penelitian Edson (2006), Aspergillus sp. merupakan fungi pelarut fosfat
yang paling efektif dalam melarutkan fosfat. Populasi fungi pelarut fosfat
terbesar diisolasi pada media tumbuh GAGES dan GES. Mikroorganisme pelarut
fosfat mampu mengubah senyawa fosfat anorganik tidak larut menjadi bentuk
terlarut yaitu Aspergillus awamori, Pennicillium digitatum, aspergillus niger,
scwanniomycetes occidentalis, Aspergillus niger, Trichoderma
viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp.
2.mekanisme pelarut fospat
Di dalam tanah,
fosfat dapat berbentuk organik dan anorganik yang merupakan sumber fosfat
penting bagi tanaman. Fosfat organik berasal dari bahan organik, sedangkan
fosfat anorganik berasal dari mineral-mineral yang mengandung fosfat. Pelarutan
senyawa fosfat oleh mikroorganisme pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan
biologis baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik.
Mikroorganisme
pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah
untuk pertumbuhannya. Mekanisme pelarutan fosfat secara kimia merupakan
mekanisme pelarutan fosfat utama yang dilakukan oleh mikroorganisme.
Mikroorganisme tersebut mengekskresikan sejumlah asam organik berbobot molekul
rendah seperti oksalat, suksinat, tartrat, sitrat, laktat, α-ketoglutarat,
asetat, formiat, propionat, glikolat, glutamat, glioksilat, malat, fumarat
(Illmer dan Schinner, 1992; Banik dan Dey, 1982; Alexander, 1977; Beauchamp dan
Hume, 1997).
Meningkatnya
asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Penurunan pH juga dapat
disebabkan karena terbebasnya asam sulfat dan nitrat pada oksidasi
kemoautotrofik sulfur dan amonium, berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan
Nitrosomonas (Alexander, 1977). Perubahan pH berperanan penting dalam peningkatan
kelarutan fosfat (Thomas, 1985; Asea et al., 1988). Selanjutnya asam-asam
organik ini akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+,
Ca2+, atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil sehingga mampu membebaskan
ion fosfat terikat dan oleh karena itu dapat diserap oleh tanaman. Beberapa hasil penelitian dalam dekade
terakhir, antar lain hasil penelitian Moghimi dan Tate (1978) menyimpulkan
bahwa asam 2ketoglukonat yang banyak terdapat pada rizosfir gandum berperan
sebagai
penyedia ion
hidrogen untuk melarutkan hidroksiapatit, tetapi bukan sebagai agen pengkhelat
kalsium. Ditambahkan oleh hasil penelitian Kim et al. (1997) yang menyimpulkan
bahwa meskipun asam yang diproduksi berperan penting dalam pelarutan
hidroksiapatit, mekanisme ini bukan satusatunya cara mikroorganisme pelarut
fosfat melarutkan P-terikat. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pelarutan
P dipacu oleh pelepasan proton dalam proses respirasi atau pembentukan NH4+ (De
Freitas et al., 1997; Bolan et al., 1997). Pelarutan fosfat secara biologis
terjadi karena mikroorganisme tersebut menghasilkan enzim antara lain enzim
fosfatase (Lynch, 1983) dan enzim fitase (Alexander, 1977).
Fosfatase
diekskresi-kan oleh akar tanaman dan mikroorganisme, dan di dalam tanah yang
lebih dominan adalah fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme (Joner et
al., 2000). Pada proses mineralisasi bahan organik, senyawa fosfat organik
diuraikan menjadi bentuk fosfat anorganik yang tersedia bagi tanaman dengan
bantuan enzim fosfatase (Gaur et al., 1980; Paul dan Clark,1989). Enzim
fosfatase dapat memutuskan fosfat yang terikat oleh senyawa-senyawa organik
menjadi bentuk yang tersedia
BAB
IV. PENUTUP
1. Kesimpulan
Fosfat merupakan nutrisi essensial
yang diperlukan oleh tanaman dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat
sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 9599%
terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh
tanaman (Sanjotha, dkk., 2011). Dari golongan jamur antara lain:
Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium &
Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp..
2. Saran
Ada banyak macam macam fungi pelarut
fospat,kita hanya mempelajari dan memahami macam macam fungi yang sering
digunakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anas,
I., E. Premono dan R. Widyastuti. 1993. Peningkatan
efisiensi pemupukan P dengan menggunakan mikroorganisme pelarut P. Pusat Antar Universitas IPB.Bogor.
Baniks, S. 1982. Available phosphate content of an alluvial soils as influenced by inoculation of some isolated phosphate-solubilizing microorganism. Plant soil 60 :353-364.
Buresh, R.J., Smithson, P.C. and Hellums, D.T. 1997. Building soil phospharus capital in Africa. P. 111-149. In. R.J. Buresh et al. (eds). Replenishing soil fertility in Africa SSSA Spec. Publ. 51. SSSA, Madison,WI.
Carroll, G.C. and Wicklow, D.T. 1992. The fungal community: Its organization and Role in the Ecosystem. Marcel Deker, Inc., New York.
Chonkar and Subba rao. 1967. Phosphate Solubilizing by fungi associated with legume root modules.Canadian,J. Microbial. 13 :749-752.
Dhandhun Baratha. 2004. Hubungan Antarainokulasi Fungi Pelarut Fosfat, Pemberian Sumber C dan Waktu Inkubasi Terhadap Ketersedian P Pupuk Fosfat Alam. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Gressel, N and J.G. McColl. 1997. Phosporus mineralization and organic matter decomposition: A critical review. In. K.E. Giller and G. Cadisch (eds). Driven by nature p.297-312. CAB International.
Isaac,
S., Frankland, J.C., Watling, R. and Whalley, A.J.S. 1993. Aspects of tropical mycology. Cambridge University Press, Cambridge, U.K.
Lestari, P. 1994. Pengaruh Fungi Pelarut fosfat terhadap serapan hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Lestari, P. 1994. Pengaruh Fungi Pelarut fosfat terhadap serapan hara P dan pertumbuhan tanaman jagung. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.Bogor.
Madjid,
A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan
Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman,
Program Magister (S2), Program Pascasrjana.Universitas Sriwijaya
Maningsih, G dan I. Anas. 1996. peranan Aspergillus Niger dan bahan organic dalam transformasi P anorganik tanah. Dalam Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Badan Litbang pertanian. Puslittanak. 14:31-36.
Merton, F and Brotzman, H. 1979. Phytopathogenic fungi: A scanning electron stereoscopic survey. University of Missouri Columbia Extension Division.Columbia, Missouri. 204pp.
Nelson, P.E. 1983. Fusarium Species: An Illustrated manual of identification. The Pennsylvania state University Press. University Park.193pp.
Maningsih, G dan I. Anas. 1996. peranan Aspergillus Niger dan bahan organic dalam transformasi P anorganik tanah. Dalam Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Badan Litbang pertanian. Puslittanak. 14:31-36.
Merton, F and Brotzman, H. 1979. Phytopathogenic fungi: A scanning electron stereoscopic survey. University of Missouri Columbia Extension Division.Columbia, Missouri. 204pp.
Nelson, P.E. 1983. Fusarium Species: An Illustrated manual of identification. The Pennsylvania state University Press. University Park.193pp.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar