SEJARAH
PEMUPUKAN
Sejarah
penggunaan pupuk pada dasarnya merupakan bagian daripada sejarah pertanian itu
sendiri. Penggunaan pupuk diperkirakan sudah mulai pada permulaan dari manusia
mengenal bercocok tanam >5.000 tahun yang lalu. Bentuk primitif dari
pemupukan untuk memperbaiki kesuburan tanah terdapat pada kebudayaan tua
manusia di negeri-negeri yang terletak di daerah aliran sungai-sungai Nil,
Euphrat, Indus, di Cina, Amerika Latin, dan sebagainya (Honcamp, 1931).
Lahan-lahan pertanian yang terletak di sekitar aliran-aliran sungai tersebut
sangat subur karena menerima endapan lumpur yang kaya hara melalui banjir yang
terjadi setiap tahun.
John Bennet
Lawes, seorang pengusaha Inggris, memulai percobaannya pada efek dari berbagai
kotoran hewan untuk pupuk pada tanaman yang tumbuh dalam pot pada tahun 1837,
dan satu atau dua tahun kemudian percobaan diperluas ke tanaman di lapangan. Pada
1842 ia mematenkan kotoran hewan yg dicampur dengan fosfat dengan asam sulfat,
inilah untuk yang pertama kalinya menciptakan industri pupuk buatan. Pada tahun
berikutnya ia meminta bantuan dari Joseph Henry Gilbert, yang pernah belajar di
Liebig di University of Giessen, sebagai direktur penelitian di Experimental
Station Rothamsted yang didirikan di tanah miliknya. Sampai hari ini,
Stasiun
penelitian Rothamsted masih menyelidiki dampak dari pupuk anorganik, organik
dan jika keduanya dicampurkan terhadap hasil panenan.Jadi di Inggris sendiri,
tempat dimana awal sejarah pemupukan saja masih mencampur antara pupuk organik
dan anorganik. Sementara kita di sini terlalu sotoy (sok tahu) memisah2
pertanian organik dan anorganik.
Di Indonesia
sebenarnya pupuk organik itu sudah lama dikenal para petani. Mereka bahkan
hanya mengenal pupuk organik sebelum Revolusi Hijau turut melanda pertanian di
Indonesia. Setelah Revolusi Hijau kebanyakan petani lebih suka menggunakan
pupuk buatan karena praktis menggunakannya, jumlahnya jauh lebih sedikit dari
pupuk organik, harganyapun relatif murah karena di subsidi, dan mudah
diperoleh. Kebanyakan petani sudah sangat tergantung kepada pupuk buatan,
sehingga dapat berdampak negatif terhadap perkembangan produksi pertanian,
ketika terjadi kelangkaan pupuk dan harga pupuk naik karena subsidi pupuk
dicabut.
Tumbuhnya
kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian
modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah membuat
mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik. Pertanian
jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui pupuk organik dan masukan-masukan
alami lainnya. Penggunaan pupuk hayati untuk membantu tanaman memperbaiki
nutrisinya sudah lama dikenal. Pupuk hayati pertama yang dikomersialkan adalah
rhizobia, yang oleh dua orang ilmuwan Jerman, F. Nobbe dan L. Hiltner, proses
menginokulasi benih dengan biakan nutrisinya dipatenkan. Inokulan ini
dipasarkan dengan nama Nitragin, yang sudah sejak lama diproduksi di Amerika
Serikat.
Pada tahun
1930-an dan 1940-an berjuta-juta ha lahan di Uni Sovyet yang ditanami dengan
berbagai tanaman diinokulasi dengan Azotobacter. Bakteri ini diformulasikan
dengan berbagai cara dan disebut sebagai pupuk bakteri Azotobakterin. Pupuk
bakteri lain yang juga telah digunakan secara luas di Eropa Timur adalah
fosfobakterin yang mengandung bakteri Bacillus megaterium (Macdonald, 1989).
Bakteri ini diduga menyediakan fosfat yang terlarut dari pool tanah ke tanaman.
Tetapi penggunaan kedua pupuk ini kemudian terhenti.
Pada waktu
pertama kali perhatian lebih dipusatkan pada pemanfaatan rhizobia, karena
memang tersedianya nitrogen yang banyak di atmosfer dan juga pengetahuan
tentang bakteri penambat nitrogen ini sudah banyak dan pengalaman menggunakan
pupuk hayati penambat nitrogen sudah lama. Di Indonesia sendiri pembuatan
inokulan rhizobia dalam bentuk biakan murni rhizobia pada agar miring telah
mulai sejak tahun 1938 (Toxopeus, 1938), tapi hanya untuk keperluan penelitian.
Sedangkan dalam skala komersial pembuatan inokulan rhizobia mulai di
Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta sejak tahun 1981 untuk memenuhi keperluan petani transmigran
(Jutono, 1982). Pada waktu itu inokulan diberikan kepada petani sebagai salah
satu komponen dalam paket yang diberikan dalam proyek intensifikasi kedelai.
Penyediaan inokulan dalam proyek ini berdasarkan pesanan pemerintah kepada
produsen inokulan, yang tadinya hanya satu produsen saja menjadi tiga produsen.
Inokulan tidak tersedia di pasar bebas, tetapi hanya berdasarkan pesanan.
Penggunaan pupuk organik dan hayati sampai sekarang sulit diperoleh. Penyebabnya antara lain:
1). karena kebanyakan pupuk organik dan pupuk hayati diproduksi oleh pengusaha kecil dan menengah,
2). pupuk organik banyak diproduksi in situ untuk digunakan sendiri, dan
3). jumlah penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati masih sangat terbatas.
Penggunaan pupuk organik dan hayati sampai sekarang sulit diperoleh. Penyebabnya antara lain:
1). karena kebanyakan pupuk organik dan pupuk hayati diproduksi oleh pengusaha kecil dan menengah,
2). pupuk organik banyak diproduksi in situ untuk digunakan sendiri, dan
3). jumlah penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati masih sangat terbatas.
Pupuk organik
komersial yang kebanyakan diproduksi ex situ dipakai untuk tanaman hias pot di
kota-kota besar. Baru pada tahuntahun terakhir ini perusahaan pupuk BUMN Pupuk
Sriwijaya sudah mulai memproduksi pupuk organik. Penggunaan pupuk organik yang
diproduksi secara in situ dilakukan pada tingkat usaha tani dengan menggunakan
limbah pertanian/limbah ternak yang ada di usaha tani yang bersangkutan.
Beberapa perusahaan pertanian/perkebunan seperti kelapa sawit, nanas,jamur
merang mengolah limbahnya menjadi kompos untuk kebutuhan sendiri. Penggunaan
pupuk hayati pernah terdata dengan baik beberapa waktu, yaitu ketika pupuk
hayati (inokulan rhizobia) merupakan salah satu komponen paket produksi untuk
proyek intensifikasi kedelai pemerintah. Pemerintah mengadakan kontrak pesanan
inokulan untuk seluruh areal intensifikasi kedelai. Karena adanya sistem
kontrak ini beberapa pabrik inokulan berdiri karena dengan sistem ini produksi
inokulan mereka terjamin pembelinya.
Pada periode
1983-1986, inokulan (Legin) sebanyak 68.034,67 kg telah digunakan untuk
menginokulasi tanaman kedelai seluas 453.564 ha pada 25 provinsi di Indonesia
(Sebayang and Sihombing, 1987). Pada musim tanam tahun 1997/1998, jenis
inokulan lain (pupuk hayati majemuk Rhizoplus) sebanyak 41.348,75 kg digunakan
untuk menginokulasi 330.790 ha kedelai di 26 provinsi (Saraswati et al., 1998).
Perkembangan penggunaan inokulan Legin tiap tahun sejak tahun 1981-1995 tidak
menunjukkan tendensi meningkat. Pencanangan “Go organic 2010” oleh Departemen
Pertanian diharapkan akan menunjang perkembangan pupuk organik dan hayati di
Indonesia. Selain itu juga mulai dilaksanakannya sistem pertanaman padi SRI
oleh para petani mendorong mulai dproduksinya kompos in situ oleh para petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar